-->

Petaka Nepotisme Rezim Menutup Kompetensi Generasi Muda

Pertanyaannya, apa itu Nepotisme sehingga mampu me­micu gejolak sebuah negara atau memaksa mundur seorang Presiden dan menutupi kompetensi generasi muda.?,   Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KB­BI), Nepotisme adalah perilaku yang memperlihatkan kesu­kaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; atau kecen­de­rungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak sau­dara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di ling­ku­ngan pemerintah; atau tinda­kan memilih kerabat atau sa­nak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan wa­laupun objek yang di­untung­kan tidak kompeten. 

Nepotisme diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepo­tisme, menegaskan bahwa “Ne­potisme adalah setiap per­buatan Penyelenggara Ne­ga­­ra secara melawan hukum yang menguntungkan kepen­ti­ngan keluarganya dan atau kro­ninya di atas kepentingan ma­sya­rakat, bangsa dan nega­ra”.

Berdasarkan Undang-un­dang tersebut, jelas dan tegas bahwa Nepotisme adalah se­buah pelanggaran hukum. Persoalannya adalah sampai saat ini kita belum melihat ada perang melawan Nepotisme, belum ada Vonis Hakim yang menghukum terdakwa yang melakukan perbuatan nepo­tisme. Perang hanya dilakukan pada Korupsi, Vonis dija­tuhkan hanya karena mela­kukan Korupsi, padahal ko­rup­si tersebut dilakukan dan diawali dengan melakukan Kolusi dan Nepotisme. Secara terpisah pun, Nepotisme dapat diproses hukum karena telah melanggar undang-undang.

Kini kejahatan Nepotisme seperti itu terus bermunculan, terutama dalam pengangkatan pejabat birokrasi dan penun­jukan pelaksana proyek-pro­yek, Walau telah dibungkus sistim dan prosedur “kom­pe­tisi,” tetap saja dengan mata awam sekalipun terlihat bahwa yang terpilih, diangkat atau di­tunjuk itu adalah para ke­luar­ga, kerabat atau teman-te­man­nya. Orang-orang yang le­bih berkualitas dan memiliki kom­petensi telah duluan ter­sing­­kir, tidak diberi kesem­pa­tan untuk berkompetisi me­nun­­jukan il­mu dan ke­ahlian­nya.

Nepotisme sangat kentara terjadi pada birokrasi peme­rintahan daerah sekaligus terkait dengan Pemilihan Ke­pala Daerah (Pilkada) adalah dengan adanya gelombang mutasi Pejabat Aparatur Sipil Negera (ASN) antar daerah. Ketika jagoannya kalah dalam Pilkada maka mereka segera mengajukan permohonan pin­dah ke daerah yang Kepala Daerahnya mempunyai “hu­bu­ngan kekerabatan” dengan­nya. Dan lima tahun kemudian mereka akan kembali ke da­erah tersebut jika yang me­nang adalah jagoan mereka. Petualang-petualang jabatan yang mengandalkan Nepo­tis­me tersebut dapat dilihat pada pelantikan pejabat ASN setelah Pilkada. Pada daerah tersebut juga akan mudah terlihat siapa yang orang dekat dan tidak dengan Kepala Daerah.

Berkembangnya praktek Nepotisme membuat ASN ter­pak­sa ikut berpolitik dukung-mendukung calon kepala da­erah dengan motif imbalan jabatan. Walau secara kualitas ASN itu sesungguhnya memi­liki pendidikan, kualifikasi dan keahlian memadai untuk berkompetisi secara fair dalam menduduki jabatan. Tetapi adanya praktek nepotisme itulah yang membuat mereka pada akhirnya “terpaksa” ikut berpolitik, atau paling tidak mencari orang dekat/tangan kanan Kepala Daerah untuk mengamankan jalan menuju menduduki jabatan tertentu.

Hal itu pulalah yang me­nye­­babkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, se­bagaimana diubah menjadi Un­dang-Undang Nomor 8 Ta­hun 2015, tentang Pemi­li­han Gubernur, Bupati dan Wa­li Ko­ta,  dicantumkan atu­ran bah­wa petahana atau in­cum­bent di­larang melakukan peng­­gantian pejabat 6 bulan se­belum masa jabatannya ber­akhir !

Lantas bagaimana caranya agar nepotisme tidak terus terjadi? Sesungguhnya mo­mentum itu telah terjadi pada tahun 1998 dengan adanya tuntutan penghapusan KKN (Korupsi, Kolusi dan Ne­po­tisme). Bahkan masalah pem­berantasan dan pencegahan KKN telah ditetapkan oleh MPR sebagai salah satu agen­da reformasi, tetapi belum menunjukkan hasil seba­gai­mana pemberantasan korupsi. Oleh karenanya perlu dila­kukan “kampanye memerangi nepotisme”. Publik harus di­beri tahu betapa des­truk­tifnya prak­tik Nepotisme jika terus ter­jadi dan rakyat diminta un­tuk bersikap kritis terhadap prak­tek-praktek Nepotisme yang terjadi.

Sudah saatnya Masyarakat nyatakan perang melawan Nepotisme, nantinya diharapkan akan terjadi perubahan signifikan, bila perlu penghancuran com­fort zone (zona nyaman) Ne­potisme yang dinikmati seba­gian orang! Tetapi akan mem­buat lebih banyak rasa keadilan yang dinikmati lebih banyak orang.


LihatTutupKomentar