Negara yang berbentuk Kerajaan seperti Majapahit dahulu atau Saudi Arabia, Inggris, Belanda sekarang, persoalan "Nepotisme" yaitu sikap-tindak yang menomorsatukan atau mengutamakan famili atau teman-teman dekat sendirinya saja yang diberikan kedudukan atau jabatan (Pius A Partanto & M Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, 1994), tidaklah menjadi masalah. Pengangkatan anak sendiri "Putera Mahkota" menjadi Raja atau jabatan lain dalam lingkungan kerajaan bukanlah pelanggaran Hukum, karena memang sistem pemerintahannya membolehkan hal seperti itu.Berbeda dengan di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan yang demokratis dengan kedaulatan yang berada ditangan rakyat, masalah "Nepotisme" adalah pelanggaran hukum.
Hal tersebut tercantum dan diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelengaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 1 angka 2 "Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercelah lainnya". Selanjutnya Pasal 1 angka 5 "Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara". Kemudian Pasal 5 "Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk : angka 4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme;".Dan sebagai sanksinya adalah sebagimana diatur dalam Pasal 22 "Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.000.000.000,00(dua miliar rupiah).
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 di atas, maka jelas dan tegas bahwa "Nepotisme" di Indonesia adalah sebuah pelanggaran hukum. Persoalannya adalah kemana masyarakat akan melaporkan pelanggaran hukum ini, apabila telah nyata-nyata ditemukan dilakukaan oleh Penyelenggara Negara di negeri ini baik di Pusat maupun di Daerah. Pengamatan sementara dewasa ini dalam sistem otonomi daerah yang melahirkan "Raja Kecil" di Daerah terutama Pemerintahan Desa ternyata telah menumbuh-suburkan prilaku nepotisme ini. Sebagai contohnya adalah pengangkatan anak, Isteri, menantu, kemenakan, adik Ipar atau Kaka, cucu, dan Tim Sukses pada jabatan-jabatan penting dan strategis tanpa mempertimbangkan lagi persyaratan, mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan kepegawaian yang berlaku.
Apakah pelanggaran hukum ini akan dibiarkan saja tanpa ada kepastian hukum untuk penanganannya. KPK hanya dibentuk untuk menangani khusus korupsi, Kepolisian dan Kejaksaan juga tidak bisa diharapkan untuk bisa menangani masalah ini, apalagi di daerah karena mereka selalu berada dalam koordinasi Penguasa Daerah tersebut.Apakah Pemerintah akan membentuk lembaga baru berupa Komisi Pemberantasan Nepotisme (KPN)...??? Wallahuwalam.......
Hal tersebut tercantum dan diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelengaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 1 angka 2 "Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercelah lainnya". Selanjutnya Pasal 1 angka 5 "Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara". Kemudian Pasal 5 "Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk : angka 4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme;".Dan sebagai sanksinya adalah sebagimana diatur dalam Pasal 22 "Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.000.000.000,00(dua miliar rupiah).
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 di atas, maka jelas dan tegas bahwa "Nepotisme" di Indonesia adalah sebuah pelanggaran hukum. Persoalannya adalah kemana masyarakat akan melaporkan pelanggaran hukum ini, apabila telah nyata-nyata ditemukan dilakukaan oleh Penyelenggara Negara di negeri ini baik di Pusat maupun di Daerah. Pengamatan sementara dewasa ini dalam sistem otonomi daerah yang melahirkan "Raja Kecil" di Daerah terutama Pemerintahan Desa ternyata telah menumbuh-suburkan prilaku nepotisme ini. Sebagai contohnya adalah pengangkatan anak, Isteri, menantu, kemenakan, adik Ipar atau Kaka, cucu, dan Tim Sukses pada jabatan-jabatan penting dan strategis tanpa mempertimbangkan lagi persyaratan, mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan kepegawaian yang berlaku.
Apakah pelanggaran hukum ini akan dibiarkan saja tanpa ada kepastian hukum untuk penanganannya. KPK hanya dibentuk untuk menangani khusus korupsi, Kepolisian dan Kejaksaan juga tidak bisa diharapkan untuk bisa menangani masalah ini, apalagi di daerah karena mereka selalu berada dalam koordinasi Penguasa Daerah tersebut.Apakah Pemerintah akan membentuk lembaga baru berupa Komisi Pemberantasan Nepotisme (KPN)...??? Wallahuwalam.......